"Keindahan Seni Adalah Pada Saat Seni Dapat Merubah Dunia Menjadi Lebih Baik"

Rabu, 10 November 2010

Raden Saleh Sjarif Bustaman Perintis Seni Rupa Modern Indonesia

Di dalam perkembangan dunia seni rupa Indonesia secara umum, terdapat tokoh penting orang pribumi yang dapat diangap sebagai perintis lahirnya budaya rupa modern di zamannya, yaitu Raden Saleh Sjarif Bustaman. Karya-karya rupa yang dihasilkan oleh Raden Saleh Sjarif Bustaman telah diakui merupakan pionir yang membuka khasanah nilai-nilai estetik modern di zamannya. Suatu hal yang mengagumkan adalah kemampuan Raden Saleh Sjarif Bustaman untuk menampilkan tema yang berbeda dengan seni lukis tradisional Indonesia pada umumnya yang bersifat keagamaan, mistis, ritual, dan dekoratif. Di awal karirnya, Raden Saleh Sjarif Bustaman muda telah mampu melukis obyek alam dan kehidupan hewan, khususnya kuda dan binatang buas secara naturalis dengan media modern seperti halnya para pelukis Eropa.

Raden Saleh Lahir Tahun 1807, tanpa diketahui tanggal dan bulannya, dari seorang Ibu Mas Ajeng Zarip Hoesen. Sejak usia 10 tahun, anak asal terbaya (dekat Semarang) ini diserahkan oleh pamannya, bupati Semarang, kepada orang Belanda atasannya di Batavia. Kepandaiannya bergaul kemudian memudahkannya masuk ke lingkungan orang-orang Belanda dan lembaga elit Hindia Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk wilayah Jawa dan pulau sekitarnya, menilai Raden Saleh pantas mendapatkan ikatan dinas dari instansinya. Kebetulan di instansi tersebut itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen mantan mahaguru Akademi seni rupa di Doornik Belanda, yang di datangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di pulau Jawa untuk untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. A.A.J. Payen cukup membantu Raden Saleh menyelami seni lukis barat dan belajar teknik pembuatannya, seperti teknik melukis dengan cat minyak. A.A.J. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi. Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, A.A.J. Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Konon usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya lukisan Raden Saleh yang dikerjakan dengan dukungan bakat yang tinggi.

Tahun 1829, bersamaan dengan dipatahkannya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock, Van Der Capellen membiayai Raden Saleh untuk belajar melukis ke negeri Belanda. Namun keberangkatannya itu menyandag misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda De Linge tentang adat istiadat dan kebiasaan orang Jawa, bahasa Jawa dan bahasa Melayu.

Semasa belajar di Belanda keterampilan melukisnya berkembang pesat, wajar bila Raden Saleh dianggap saingan berat sesama pelukis muda Belanda yang sedang belajar. Selanjutnya Raden Saleh semakin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal di lingkungan seniman Belanda, malah berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat Belanda terperanggah. Pandangan masyarakat Belanda bahwa masyarakat jajahan itu “primitif “ gugur seketika.

Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama untuk belajar “Wis, Land, meet en werktuigkunde’ (ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat), selain melukis. Dalam perundingan antara Minister Van Kolonieen, Raja Willem I (1772-1843), dan pemerintah Hindia Belanda, Raden Saleh boleh menangguhkan kepulangan ke Indonesia. Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa tahun kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu seperti di Dresden, Jerman. Di sini raden Saleh tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan kerajaan Jerman, lalu meneruskan ke Weimar, Jerman (1843). Ia kembali ke Belanda tahun 1844, kemudian menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.

Jiwa seni Raden Saleh belum terpuaskan, perkembangan seni lukis Belanda menurut pendapatnya tidak memiliki karakter yang unik, tetapi selalu menyerap aliran seni Perancis. Sejalan dengan waktu, wawasan seni Raden Saleh semakin berkembang seiring dengan kekaguman pada karya tokoh romantisme, Eugene Delacroix (1798-1863), seorang pelukis Perancis terkemuka. Kekaguman pada karya Delacroix itulah yang dinilai banyak orang menjadi inspirasi karya-karya Raden Saleh kemudian. Terutama ketika Raden Saleh berkarya di Perancis (1844-1851). Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh namun disajikan lebih dinamis. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (Religiositas) sekaligus ketidakpastian takdir menjadi tema lukisannya selama berada di Eropa.

Saat berada di Eropa Raden Saleh menjadi saksi mata terjadinya revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tidak mau mempengaruhi dirinya. Dari Perancis ia bersama pelukis Perancis kenamaan, Horace Vernet, hijrah ke Aljazair untuk tinggal selama beberapa bulan. Di kawasan inilah lahir ilham untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan sejumlah sejumlah lukisan perkelahian binatang buas dalam ukuran besar. Pemgembaraan di Eropa berakhir tahun 1851, ia pulang bersama istrinya seorang wanita Belanda. Sepulangnya ke tanah Jawa, Raden Saleh dipercaya menjadi konservator pada Lembaga Koleksi Benda-benda Seni. Di Batavia ia tinggal di gedung yang dirancangnya sendiri di sekitar Cikini, Batavia. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan dunia binatang, Raden Saleh menyerahkan sebagian halaman rumahnya yang sangat luas kepada pengelola kebun binatang. Kini kebun binatang tersebut menjadi Taman Ismail Marzuki, sedangkan rumahnya menjadi rumah sakit Cikini Jakarta.

Tahun 1875 Raden Saleh berangkat lagi ke Eropa bersama istrinya dan baru kembali ke Jawa tahun 1878. selanjutnya, ia menetap di Bogor sampai wafatnya pada 23 April 1880. Untuk memperingati tiga tahun wafatnya diadakan pameran-pameran lukisan Raden Saleh di Amsterdam, di antaranya yang berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Raja Willem III dan Pangeran Van Saksen Coburg-Gotha. Memang banyak orang kaya dan pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman yang mengagumi Raden Saleh yang semasa di Eropa tampil “aneh” dengan berpakaian adat ningrat Jawa lengkap dengan blangkon. Di antara mereka adalah bangsawan Saksen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti Van Den Bosch, Baud dan Daendeles. Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, yang kemudian selalu ia sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.) Ridder der Kroonorde van Pruisen (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dan lain-lain.

Pemerintah Indonesia memberikan penghargaan atas prestasinya melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara anumerta pada tahun 1969, berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Tokoh Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain dari pemerintah Indonesia adalah pembangunan ulang makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno dan sejumlah lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara. Contohnya pada tahun 1967 PTT (PT Pos Indonesia) mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya yang bergambar binatang buas yang sedang berkelahi.
Dari sejumlah karya Raden saleh yang dihasilkan, ada satu lukisannya yang membuktikan rasa “nasionalisme” pada diri Raden Saleh yaitu lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Cock pada tahun 1830 yang terjadi di rumah kediaman residen Magelang. Dalam lukisan itu tampak Raden Saleh menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap menghormat menyaksikan suasana tragis bersama-sama pengikut Pangeran Dipoegoro yang lain, Jenderal De Cock pun digambarkan kelihatan sangat segan dan hormat yang ditunjukkan pada lukisan itu sedang mengantarkan Pangeran Diponegoro menuju kereta yang akan membawa beliau ke tempat pembuangan. Padahal saat penangkapan itu, Raden Saleh masih berada di Belanda. Beberapa tahun kemudian ia kembali ke Indonesia dan mencari informasi mengenai peristiwa tersebut dari kerabat Pangeran Diponegoro, lalu melukiskannya di atas kanvas. Adapun karya seni lukis Raden Saleh yang lain adalah : Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, Perburuan Harimau, Perkelahian dengan singa, Pergulatan Singa dan Ular.

Berkat jasa Raden Saleh, bangsa Indonesia dapatlah berbangga melihat karya anak bangsa menerobos museum akbar seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum bergengsi Louvre, Paris, Perancis. Setelah masa raden Saleh, tidak tercatat pelukis pribumi yang mengikuti jejaknya, sehingga terdapat ‘ruang kosong” dalam perkembangan seni rupa modern karya orang pribumi hingga awal abad ke 20.

Ditulis dari berbagai sumber oleh Teguh Triwasono, S.Pd.

2 komentar:

  1. Salam Budaya. Raden Shaleh memang luar biasa. Barangkali perlu ditambahkan cerita karya Raden Shaleh yang ada di Kraton Yogyakarta yang menakjubkan itu....

    BalasHapus